![]() |
||||
EBOOK PELAJARAN TIDAK MURAHOleh : M. Irsani Berdasarkan pertimbangan selektifnya saringan dan fantastisnya harga royalti yakni Rp.100.000.000,- / buku – berdasarkan sayombara penulisan buku pelajaran oleh Diknas beberapa waktu lalu -- maka tentu kualitas dan kualifikasi BSE tidak diragukan lagi. Penulis sempat mempelajari buku Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs dan memang buku tersebut mempunyai kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan buku-buku yang beredar dari beberapa penerbit saat ini. Sepintas (menurut penulis) ilustrasi buku ini lebih familiar dengan kondisi siswa, khususnya siswa yang berada jauh dari pusat-pusat kota. Sebagai seorang guru, penulis merasakan buku elektronik tersebut bagus untuk dijadikan buku pegangan guru dan siswa. Yang menjadi persoalan, benarkah BSE ini buku murah meriah yang bisa dengan mudah diunduh, diprint, dan kemudian dijadiikan sebuah buku manis yang enak dipandang dan memancing minat untuk dipelajari? Jawabnya adalah fakta. Ya, fakta yang penulis saksikan sendiri di sekolah-sekolah melalui forum Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), forum Kelompok Kerja Madrasah (KKM) atau forum-forum regional. “Mahluk” BSE hanya populer sebagai sebuah term baru dunia pendidikan. Secara signifikan belum ada guru/sekolah yang memakainya. Ada apa dengan buku yang katanya gratis atau murah ini? PROBLEM BSE Kenapa BSE tidak banyak dipakai yang padahal sangat mudah mendapatkannya. Guru atau siapapun yang ingin mengunduh (mendownload) tinggal duduk sebentar di warnet atau di internet sekolah atau bahkan di hotspot gratis (biasanya di balai diklat LPMP atau Depag dll). Rata-rata keceptan antara 15 – 30 kbps atau kira-kira 1 - 10 menit perbuku (± 2 Mb). Jadi kalau duduk satu jam maka kita bisa mendapatkan sedikitnya 6 buku. Jadi kalau dirupiahkan, maka satu buku hanya Rp.350,- (asumsi di warnet Rp.3.500,- / jam). Luar biasa murah. Persoalan utama, ketika ebook tadi dijadikan dalam bentuk cetakan. Saya ambil contoh buku Bahasa Indonesia Kelas VII karangan Nia Kurniawati Sapari. Buku tersebut berjumlah 223 halaman. Bila diprint maka 223 X Rp.400,- (harga bisnis) = Rp. 89.200,- + Rp.2.000,- (biaya jilid), maka buku ini perbuahnya adalah Rp.91.200,- (kualitas print). Tetapi bila difotocopy 223 X Rp.150,- + Rp.2.000,- (jilid) maka harga perbukunya adalah Rp. 35.450,- (kualitas fotocopy). Cara lebih murah lainnya adalah dengan mengconvert dari Pdf ke Word kemudian disetting dalam bentuk F4 (kertas ukuran folio) dengan spasi 1,25 maka buku tadi akan menjadi 100 halaman. Maka harga per bukunya adalah Rp.42.000,- (kulaitas print) atau Rp.17.000,- per buku dengan kualitas fotocopy. Harga ini mungkin bisa lebih murah lagi bila dicetak dalam jumlah besar dengan menggunakan percetakan semacam Risho atau percetakan modern lainnya. Kendala yang pasti terjadi adalah tidak meratanya kemampuan menggunakan komputer di sekolah-sekolah nun jauh dari perkotaan atau bahkan dalam perkotaan sekalipun. Kemudian masalah harga fotocopy. Ambil contoh di Sukamara (salah satu Ibu kota Kapubaten di Kalimantan Tengah) harga fotocopy Rp.500,- / lembar, maka silahkan hitung sendiri berapa harga buku tadi per buahnya. Mengacu ke Peraturan Mentari Pendidikan Nasional nomor 12 tahun 2008 tanggal 14 April 2008 yang menyebutkan bahwa Harga Eceran Tertinggi untuk buku tersebut adalah Rp.13.664,00, maka pengusaha fotocopy pasti akan angkat tangan, beberapa percetakan lokal pun yang sempat dihubungi penulis masih pikir-pikir dengan HET tersebut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan 793 penerbit yang tergabung dalam IKAPI dan memiliki ribuan atau bahkan jutaan karyawan yang tentu pasti akan “brontak” mempertahankan bisnisnya. Terlepas dari persoalan ruwetnya BSE, penulis yang kebetulan sedikit mengerti cara mensiasati BSE hingga menjadi bentuk buku yang paling sederhana dan murah (tidak berwarna), maka hemat penulis harga buku tersebut paling tidak Rp.17.000,-/buku. Namun kendalanya, sang guru harus berdebat dengan orang tua siswa karena mereka tahu persis guru tidak boleh jual buku dalam bentuk apapun; dan yang cukup mengganggu juga buku tersebut tidak berwarna (fotocopy atau black-white bukan greyscale) yang dalam beberap hal kurang komunikatif dan tidak menarik. Kadang gambarnya tidak jelas dan bila ada pilahan atau arsir yang menggunakan warna, maka jelas buku ini mentah. APA BEDANYA Bila membaca Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan buku sebagai bagian dari pelayanan pendidikan dan pemerintah berkewajiban menyediakan buku teks bagi semua mata pelajaran di sekolah, maka BSE yang dicanangkan Diknas sebagai buku gratis sebagai perwujudan PP No.19 jelas sangat melenceng. Kecuali bagi kalangan tertentu, BSE justru sama saja dengan buku-buku yang diterbitkan penerbit, bahkan dalam hal-hal tertentu lebih mahal. Melarang penerbit dan guru menjual buku di sekolah-sekolah sama sekali tidak menyelesaikan masalah, temuan penulis sendiri, dibeberapa sekolah penerbit dan guru justru tidak kehabisan akal dengan menyuruh orang tua siswa proaktif ke toko-toko buku tertentu atau di toko-toko buku dadakan yang ditunjuk penerbit – tentu saja dengan iming-iming rabat yang menarik. Alhasil, orang tua siswa lagi-lagi dibebani bahkan dengan biaya ekstra transportasi. Ternyata BSE tidak murah dan tidak gampang. |
![]() |