![]() |
||||
MENYOAL KENAIKAN PANGKAT IV/b DI KALANGAN GURU Oleh : M. Irsani Kemenangan gugatan PGRI atas tuntutan Anggaran Pendidikan sebesar 20% oleh Mahkamah Konstitusi yang kemudian ditegaskan pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan DPR RI adalah suatu yang menggembirakan bagi dunia pendidikan di Indonesia, namun itu bukan berarti kemenangan guru sebagai seorang professional. Masih banyak nuansa sumbang yang sangat mengganggu ritme profesionalitas guru sebagai ujung tombak pendidikan. Salah satunya adalah masalah kenaikan pangkat dari IV/a ke IV/b. Persoalan jenjang kepangkatan dari IV/a ke IV/b dan seterusnya, laksana sebuah sebuah mitos. Di setiap ada forum-forum ilmiah sehubungan dengan masalah jenjang kepangkatan guru, maka hampir bisa dipastikan akan menjadi ajang pelampiasan unek-uneg guru dan ketika dari hati ke hati bertemu, maka jadilah kenaikan pangkat itu sebuah nyanyian indah. Terlalu banyak contoh kisah kegalauan guru untuk ditulis di halaman ini, tapi menarik untuk disimak sebuah pengakuan sang guru yang diungkapkan di sebuah blog pribadinya, “Angka kredit di bidang kami, yang rajin ngajukan yang cepet naik, yang rajin kerja malah tidak sempat ngurus saking ruwetnya. Tidak semua begitu, hanya gurauan di kalangan kami (termasuk saya) yang males ngurus aja. Beberapa temen bahkan berhenti jadi pns. Ada lagi kakak kelas saya seorang spesialis malah “krasan” IIId. Saya tiap kenaikan pangkat selalu telat, rata-rata 5 tahun. Kesalip terus sama yang lebih muda. Dari IVa ke IVb karya tulis 10 buku, sudah 1 tahun, alhamdulillah tidak ada beritanya. Akhirnya saya biarkan, sak karepe wong nduwuran.... Yang penting tetep nulis dan nulis bukan semata untuk naik pangkat.” (http://urip.wordpress.com) SEBERAPA SULITKAH IV/b? Dari jumlah 2,7 juta guru, sedikitnya 344 ribu yang menghuni golongan IV/a dan hanya 2.200 yang bisa naik ke golongan IV/b ke atas, dan yang menjadi kendala utamanya Karya Tulis Ilmiah (KTI). Hal itu diungkapkan Direktur Pembinaan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Sumarna Surapranata, dalam Rapat Koordinasi PMPTK se-Indonesia di Gedung Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kerja (P4TK) IPA, Jln. Diponegoro, Bandung. Kesimpulan secara statistik menyebutkan naik golongan ke IV/b sangat sulit. Bila diprosentasikan maka kurang dari 1 % yang bisa lolos. Merujuk ke Standar Kelulusan Minimum (SKM), maka dipatok berapa pun angka kelulusan akan sangat sulit bagi guru untuk menembusnya, kecuali guru-guru tertentu yang benar-benar aktiv dan kreativ, dan mungkin yang bernasib baik yang mampu mencapai IV/b. Sebenarnya angka kredit (AK) kumulatif yang diperlukan seorang guru untuk naik ke IV/b 150 AK dan itu semestinya sudah dimilikinya bila sudah enam tahun menjalani Proses Belajar Mengajar (PBM). Namun demikian guru tidak serta merta dapat mengajaukan PAK (Penetapan Angka Kredit) karena bagi Guru Pembina (IV/a) hingga Guru Utama (IV/e) diwajibkan mengumpulkan AK dari pengembangan profesi sekurang-kurangnya 12 AK, di samping AK PBM. Angka 12 diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah berupa penelitian, karangan ilmiah, tulisan ilmiah populer, buku, diktat, dan terjemahan, dan inilah rupanya biang segala problem. Ketrampilan mengungkapkan pikiran dalam bentuk tulisan memang bukan pekerjaan mudah. Kecuali memiliki sedikti bakat, yang terpenting adalah pembiasaan-pembiasaan serta harus berkabolorasi dengan kalangan perguruan tinggi yang sudah terbiasa dengan dunia penelitian. Bila bernasib baik, maka bukan hanya cost yang besar yang harus disediakan oleh guru, tetapi waktu dan tenaga yang panjang dan melelahkan akan pasti menjadi permasalahan lain. Lalu apakah harus mengorban siswa sebagai konsekwensi keseriusan total mengadakan penelitian, menyusun hasil penelitian, mengolah data, membuat laporan, mempresentasikan, memperbaiki dan lain sebagainya. MENGAPA GURU ENGGAN Keengganan sebagian besar guru mengurus kenaikan pangkat ke golongan IV/b bukan tanpa alasan. Banyak hal yang mempengaruhi sehingga seolah-olah guru-guru tersebut “betah” hingga pensiun di pangkat IV/a. Sepanjang yang penulis ketahui, persolan yang melatar belakangi tersebut antara lain adalah : ü Banyaknya “nyanyian buruk” guru-guru yang pernuh mengurus naik pangkatnya yang berujung kegagalan. Selain sudah mengeluarkan banyak dana, mereka banyak kehilangan waktu dan tenaga, sehingga jadilah pengalaman mereka ini menjadi “lagu pilu” yang menyurutkan semangat bagi guru lain hingga akhirnya menjadikan mereka apatis. ü Masih rendahnya penghargaan terhadap jenjang karier IV/b dan seterusnya. Selain tidak adanya jaminan kenaikan karier (antara lain menjadi Kepala sekolah/madrasah dan lain-lain), selisih jumlah rupiah yang diterima tidak setara dengan seriusnya seleksi penjenjangan. Dibandingkan dengan dosen, kenaikan tunjangan guru sangat tidak memadai. ü Ketrampilan menulis memang tidak berbanding lurus dengan kemampuan guru menjelaskan pelajaran di depan kelas. Tidak sedikit guru yang terampil berkomunikasi dengan siswa di depan kelas, tetapi ketika disuruh menulis, maka semuanya seperti beku. Lebih-lebih membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang harus mengikuti aturan baku, sehingga tambah lengkaplah “penderitaan” jalur panjang menuju karier IV/b. ü Karena malas. Pendapat ekstrim ini pernah terungkap ketika penulis berdiskusi dengan teman-teman “senasib” di forum bimbingan KTI di Banjarbaru. Meskipun ungkapan ini tulus dimaksudkan oleh Drs. Mawarni, M.Pd (sekarang sedang mempersiapkan IV/d) sebagai motivasi, penulis dan kawan-kawan menyadari sepenuhnya unsur malas ini bagai sebuah penyakit kronis bagi sebagian besar guru. Namun demikian, malas tentu ada sebabnya. HATI NURANI Dalam ilmu management disebutkan bahwa untuk membuat kinerja pekerja agar lebih optimal, maka salah satunya dengan cara furnish and rewards (hadiah dan hukuman). Dalam management pendidikan pun diajarkan agar guru senantiasa memberikan hadiah (dalam berbagai bentuk) kepada siswa yang telah berusaha keras, dan memeberikan hukuman (dalam berbagai bentuk) kepada siswa yang tidak bekerja keras atau yang melanggar aturan. Hubungannya dengan karier kepangkatan guru, maka ilmu management kepangkatan saat ini tidak memberikan efek apa-apa. Kalaupun ada tambahan gaji bagi guru yang berhasil melewati tantangan intlektual ke IV/b atau lebih, maka nilainya sangat tidak masuk akal. Bayangkan bila hasil penelitian tadi adalah sebuah metodologi mengajar yang berhasil mendongkarak nilai siswa kemudian dipresentasikan dan dipakai oleh banyak guru, lalu pantaskah hasil penelitian tadi diberikan “reward” gaji pokok Rp.50.000,- / bulan dan berhak menyandang gelar IV/b? Anggaran pendidikan sudah penuh 20% dan saatnyalah managemen pendidikan dibenahi dengan lebih rasional, proporsional dan dengan hati nurani. Andai kita khianat dalam mencerdaskan bangsa dengan anggaran 20% yang dahulunya dianggap hanya sebuah mimpi, maka mungkin bukan KPK lagi yang akan memborgol dan memasukan ke penjara, tetapi malaikat-malaikat Allah yang akan melumpuhkan lutut sehingga kita tidak bisa merangkak apalagi berjalan, memelintir bibir hinggga terpasung peot, menelantarkan tubuh merana di atas kasur tanpa daya bahkan sekedar mengedipkan mata pun, dan mungkin akhirnya akan mencabut roh dalam tubuh dengan paksa dan kasar yang sakitnya amat sakit. Wallahu’alam. |
![]() |